Rabu, 17 Desember 2008

Pearl Jam Nite IV


Tepat 13 Desember pukul 16.00 sore waktu saya menerima sms dari Nandha "Milis PJID" untuk tampil di acara PJ NITE IV pukul 20.00 malam nya, spontan saya langsung bilang Wooww!! Ini mengejutkan sekaligus membanggakan buat respito, saat itu jg saya langsung menghubungi anak-anak respito yang lain lewat ponsel saya, dan tanpa basa basi mereka semua langsung mengiyakan ajakan ini. Acara reguler milis "PJ Nite" ini secara reguler diadakan setiap tahun oleh milis PJID.

Untuk kali ini review acara PJ NIte akan diulas oleh seorang aktivis milis PJID bernama Eko Prabowo.

YEAR’S END RESURRECTION - Pearl Jam Nite IV
Jarak yang membentang, bagi orang yang memiliki cinta, tidak akan ada artinya. Lihat saja Frodo Baggins. Cintanya kepada Shire, desa mungil yang indah di Middle Earth, membuatnya rela berjalan kaki berbulan-bulan lamanya. Menembus hutan belantara, menyusup ke lorong bawah tanah, mendaki gunung salju, hingga melintasi rawa-rawa beracun menuju Mount Doom, untuk menghancurkan cincin laknat ciptaan Sauron.

Begitu juga rasa sepi. Tak akan terasa jika kita bahagia. Dengan hanya ditemani Samwise Gamgee, tukang kebun sekaligus sahabat sejatinya, Frodo meneruskan perjalanannya. Mereguk semua penderitaan demi Shire dan kehidupan Hobbit yang dia cintai.

Jauh dan sepi, tidak banyak artinya bagi saya malam itu. Menghadiri Pearl Jam Nite IV di bilangan Kebun Jeruk, saya menemukan semua yang saya harapkan. Teman-teman baik yang selalu gila dan ceria. Keakraban di depan maupun di sekeliling stage. Dan, tentu saja, musik rock yang membebaskan jiwa.

Malam itu dibuka oleh Respito, sebuah rock band yang belum pernah saya lihat penampilannya. Membawakan beberapa nomor karangan sendiri dan beberapa lagu Pearl Jam semacam Corduroy, Alive, serta WWS, mereka tampil penuh percaya diri. Di nomor Alive, Respito mengundang teman baiknya dari masa sekolah, Arie, yang juga adalah gitaris Band PJId (yang sukses latihan tapi selalu gagal manggung). Kolaborasi keduanya berjalan mulus.

Entah kenapa, setiap kali mendengar Corduroy, saya teringat Hilman. Disamping ini memang lagu favoritnya, saya ingat dia pernah bilang begini: “Ko, setelah membaca buku Heavier Than Heaven, gua yakin kalau Corduroy itu lebih banyak bercerita tentang Cobain dibanding dirinya sendiri (Eddie - red)”. Apa iya? Saya yakin kalau Immortality memang tentang Cobain. Corduroy? Sepertinya Hilman berhutang penjelasan panjang lebar kepada saya, dan juga warga milis PJId.

Berikutnya tampil GotID. Band milis favorit saya, selain Stigmata dan Alien Sick.

Arif tampil dengan kacamata dan topi sport yang menutupi hampir seluruh mukanya malam itu. Malu? Mungkin. Malu-maluin? Pastinya tidak, hahaha! Sementara Ridha tampil dengan baju ulet bulu berwarna hijau-hitam. Bro, kayaknya bobot bertambah terus tuh?

Terakhir kali saya melihat penampilan GotID adalah di Pearl Jam Nite II Front Row. Waktu itu, nikmat sekali melihat Ridha memainkan gitarnya sambil memejamkan mata, sembari merebahkan dirinya dalam usungan tangan audiens! Haha, saya jadi ingat, Edwin, gitarisnya Cokelat, sampai ketagihan ber-jam session. Kapan lagi main gitar sambil diusung oleh penonton?

Malam itu pun tidak jauh beda. Ridha memainkan gitarnya dengan gaya dan kepiawaian serupa. Solo dalam nomor-nomor maut semacam YLB dan RITF dibawakan sambil memejamkan mata. Tanpa acara usung-usungan tentu saja. Ketika jingkrak-jingkrak di depan stage bersama saya dan beberapa rekan milis, saya sempat bertanya kepada Ridha. ”Gak stage diving lagi?”. Sambil tersenyum kecut, dia bilang: ”Gak ah! Gak ada yang nangkep, udah berat!”

GotID membuka penampilannya dengan Release. Lagu yang selalu membuat saya merinding. Mistis, demikian Che Cupumanik mendeskripsikan lagu ini, ketika dia membawakannya di Planet Hollywood beberapa bulan yang lalu.

Jujur saja, untuk lagu-lagu Pearl Jam dengan kedalaman suara dan nuansa psikadelik semacam Release, vokal Arif sangat-sangat apik. Dengan sebatang rokok terselip di jemari, kedua tangan bersedekap di dada, dan mata terpejam, dia melantunkan mantra-mantra yang diciptakan Eddie untuk mengenang sang ayah.

”Ohmmm... Ohm.... Ohm...” Seandainya saat itu tercium bau dupa, saya pasti merasa sedang mengikuti upacara kebiksuan di kuil Lhasa, kota terlarang milik orang-orang Tibet yang saat ini sedang digilas Cina.

Alex Kuple, yang malam itu menjadi bassis untuk GotID, adalah yang paling riang-gembira. Nikmat sekali melihat permainannya. Apalagi di nomor Leaving Here, yang menurut saya adalah nomor terbaik kolaborasi GotId dan Alex Kuple malam itu. Solo bas-nya dinomor ini mendapat sambutan meriah dari audiens. Performa vokal Arif, solo gitar Ridha, dan gebukan drum menyatu dalam irama yang dinamis. ”Hey, fellas, have you heard the news... wuoohhhh... yeah, the women in this town have been misused... wuoohhh... ” Demikianlah Arif, Ridha, dan audiens saling menyahut dalam nomor super langka ini. Damn! This is the reason why i’m dragging my ass to every single PJ Nite...

Penampilan GotID ditutup dengan I Got Id (Shit). Alex Kuple melepaskan semua kegembiraannya dengan berduel bersama Ridha. Ah, ah, ah… Nyata sekali bahwa Lenny Kravitz salah besar. Rock ‘n Roll is NOT dead, you stupid!

Alien Sick adalah menu penghabisan malam itu. Gitarisnya yang berpostur menjulang, dengan rambut gondrong dan kumis serta jenggot lebat, menyita space yang tersedia. Saya kira Kim Thayil, eh, ternyata si Olitz, hahaha!

Jessy, seperti biasa, menjadi vokalis untuk Alien Sick. Malam itu dia datang bersama istrinya yang tampil anggun berbalut gaun biru. Saya tidak tahu apa profesi ibu yang satu ini. Namun, malam itu, jelas sekali tugasnya adalah dokumentasi pribadi. Jepret kanan. Jepret kiri. Kadang-kadang kena jepret juga. Jessy, apakah kamu tidak puas dengan hasil jepretan tukang foto keliling yang banyak beredar di milis kita?

Ocean, WMA, In My Tree, Black, Blood, Why Go, Jeremy, Alive, Tremor Christ, No Way, hingga Daughter digeber tanpa henti.

In My Tree, yang ketika Pearl Jam Nite II Front Row dibawakan oleh GotID, mendapat roh baru dalam permainan Alien Sick dan olah vokal Jessy. Gebukan drum yang merupakan intro lagu ini terdengar begitu empuk. Memantul, memanggil dalam cahaya stage yang temaram. Pronky bermain dilatar belakang dengan dentuman bass yang dalam, sementara Olitz dan Javier meningkahi dengan petikan serta raungan gitar yang halus.

“Up here ini my tree… yeah… Newspapers matter not to me… yeah…”

Bagi saya, yang sehari-harinya cari makan dari koran, lirik lagu ini jelas tidak baik. Namun melalui hembusan nafas Jessy, In My Tree menjadi satu dari beberapa nomor terbaik yang mereka suguhkan malam itu.

Bintang tamu malam itu, Anda Bunga, tampil luar biasa gahar di nomor Blood. Sebagaimana ditunjukkannya pada event di Bandung beberapa waktu lalu, performa vokal Anda memang aduhai. Dia seperti meledakkan paru-parunya hingga hampa ketika meneriakkan: “It’s my blooooooooodddddddddddddd!!!!!!!!!!!!!!!”

Kalau GotId membawakan nomor langka Leaving Here, maka Alien Sick juga menyuguhkan nomor perawan di Pearl Jam Nite: No Way. Saya tidak terlalu paham mengenai teknik bermain musik, namun sepertinya tantangan terberat dari lagu ini adalah pada ketukan dan pukulan drum. Dan, masih menurut selera saya, Dicky menjawab tantangan tersebut dengan tuntas.

Karena sudah lelah ber-moshing ria, saya menepi dan menikmati No Way dari jauh. Bagi saya, dan mungkin sebagian besar warga milis PJId, mendengarkan lagu-lagu langka semacam ini dibawakan live merupakan kenikmatan tersendiri. Bukan apa-apa. Sesungguhnya, kami sudah agak bosan mendengarkan lagu-lagu era Ten. Tapi, kenapa kok Pearl Jam malah mengeluarkan edisi anniversary untuk Ten ini ya? Hanya Tuhan dan kelima orang keras kepala itu saja kiranya yang tahu.

Jam session diisi oleh Tpenk Zion dari Steven n Coconut Trezz, Nial bassis Bunga, dan Irsya yang memainkan drum pada beberapa nomor. Tidak lupa, Iroel dan sang pengantin baru, Faizal, turut menyumbangkan suara dalam Jeremy dan Black.

Malam itu memang tidak segemilang Pearl Jam Nite II Front Row. Tidak juga sebrutal Pearl Jam Nite Planet Hollywood yang digagas oleh Otomotion. Namun demikian, saya tidak merasa kehilangan. Semua yang saya cari, saya temukan malam itu.

Petruk pernah mendefinisikan Rock ’n Roll dalam sebuah lakon karya Tatang S. Batu yang menggelinding. Demikianlah ia berujar, dengan segala kesoktahuan dan kekonyolannya.

Begitulah. Biarlah cinta saya, cinta kita, komunitas PJId, kepada Pearl Jam dan semangat pembebasan Rock ’n Roll, menggelinding sepanjang waktu. Kadang mulus meluncur. Kadang terantuk dan membentur rintangan. Semua menyisakan suka, juga luka. Luka yang akan kita bawa hingga nanti. Luka yang menyadarkan kita semua, bahwa kita memang butuh resurrection. Kebangkitan menuju 2009. Kebangkitan menuju Pearl Jam Nite V!

Tidak ada komentar: