Jumat, 29 Mei 2009

The End

“This is the end, beautiful friend… This is the end, my only friend, the end…” – The Doors

Demikianlah. Setelah berbulan-bulan lamanya Prost Beer menjadi pusat galaksi grunge Jakarta, semalam ia lenyap. Berhenti memancarkan energi. Mati.

Black Hole, yang merupakan EO sekaligus rekanan Prost Beer memutuskan untuk hengkang. Menghentikan kolaborasi mereka yang sempat sukses mendatangkan punggawa grunge lokal dari negeri dewa, Navicula.

Ironis. Nama EO yang menyiratkan energi semesta sedemikian dahsyat, yang mampu menelan sebuah bintang sampai tandas, ternyata terkena tuahnya sendiri. Tertelan lubang hitam dunia pertunjukan. Dunia yang, lucunya, terasa sepi justru ketika belakangan ini semakin hingar-bingar. Dunia yang semakin mirip lubang hitam menyesatkan, karena kita semakin sulit membedakan mana pertunjukan kejujuran dan mana pertunjukan omong kosong belaka.

Selayaknya saya menangis semalam, karena kehilangan tempat untuk sejenak menepi dari derasnya denyut kehidupan Jakarta. Lalu berjalan pulang membawa dendam.

Nyatanya tidak. Saya malah tersenyum. Dan kemudian bisa pulang sembari mendendangkan Off He Goes, yang rupanya cukup cocok dinyanyikan sambil mengendarai motor jam 2 pagi.

Saya rasa, tidak perlu ada kekhawatiran itu. Kolaborasi Black Hole dengan Prost Beer boleh kandas dihempas angin malam. Grunge yang kita cintai akan tetap menggelinding. Setidaknya demikianlah kesimpulan saya setelah menghadiri Roots of Seattle Sounds semalam, konser grunge pamungkas dari kolaborasi EO dan venue yang berakhir getir.

Omong kosong? Tidak juga.

Dalam buku terbarunya yang berjudul Outliers, Malcolm Gladwell menceritakan sedikit mengenai kisah sukses The Beatles. Dibalik kesuksesan mereka, ada sebuah hukum yang namanya ”kaidah 10.000 jam”. Kaidah ini menggariskan bahwa untuk mencapai level dunia, dalam bidang apapun, dibutuhkan latihan selama 10.000 jam. Tidak kurang. Lebih malah semakin baik.

Dan tepat seperti itulah sesungguhnya The Beatles membangun fondasi musiknya yang dahsyat. Maksud saya, fondasi yang dahsyat untuk musik mereka. Kalau musiknya, menurut saya, Led Zeppelin-lah yang terdahsyat.

Sebelum menggempur Amerika, dan kemudian menaklukkan dunia, pada 1964, The Beatles sangat banyak menghabiskan waktu di Hamburg. Dalam satu kunjungan kesana di tahun 1960, mereka melalui 106 malam dengan jadual konser (yang pada dasarnya adalah latihan, karena dilakukan di depan audiens yang kecil dan tidak respek pada mereka) minimal 5 jam setiap kali! Hingga 1964, diperkirakan mereka sudah naik panggung sebanyak 1200 kali!

Saya tentu tidak bermaksud membandingkan Alien Sick, atau Respito, sebagai salah dua performer dalam acara semalam, dengan The Beatles. Berdasarkan ”kaidah 10.000 jam”, mereka masih kurang ribuan jam lagi untuk sampai kesana.

Namun demikian, dari segelintir band yang malang melintang di komunitas grunge Jakarta, keduanya adalah yang menunjukkan perkembangan terus-menerus, khususnya dalam urusan live performance. Tentu saja Anda boleh tidak sependapat dengan saya.

Band lainnya, yang memang terlewat dari pengamatan saya, menempuh jalan yang persis sama. Melewati kesulitan di setiap pertunjukan yang mereka lakukan, lengkap dengan semua karakter panggung dan audiens yang menunggu disana. Demikian itu kiranya garis tangan dari band grunge yang bertualang mengandalkan live performance.

Jika mereka cukup pintar untuk memanfaatkan setiap kesempatan tampil, memecahkan masalah yang tersaji hingga akhirnya keluar sebagai band yang lebih baik di akhir setiap pertunjukan yang dilakoni, saya rasa kita semua tidak perlu khawatir akan eksistensi grunge disini.

Jalan sudah diretas. Batu telah menggelinding. Lokasi dan administrasi bukanlah rintangan berarti. Mereka memiliki kesempatan yang sama besar untuk menjadi punggawa grunge lokal yang baru, menggantikan para pendahulu yang luluh lantak dilindas industri musik yang senantiasa berganti selera.

Hal lain yang membuat saya pulang dengan senyum tersungging tadi malam adalah: kejujuran.

Betapa dalam kesan itu tertanam. Khususnya pada sesi terakhir, ketika semua punggawa grunge lokal, yang pernah dan masih berkibar, larut dalam kenangan. Larut dalam keasikan bernyanyi, tanpa malu mempersonifikasi diri pada sang idola. Entah itu Layne Staley yang sudah lewat, Chris Cornell yang tak pantang berganti warna, atau Eddie Vedder yang masih terus bermetamorfosis dan berkarya.

Anda, Tony, Robi, Giri, Dendy, dan Che, semua tumpah ruah di panggung penghabisan. Sesi terakhir malam itu, dari sebuah pertunjukan grunge terakhir di pusat galaksi yang segera mati.

Nomor-nomor abadi, yang sekaligus merupakan tonggak penyangga kebesaran grunge selama ini, mengalir deras. Rooster, Glorified G, Hunger Strike, Yellow Led Better, hingga River of Deceit, semua meluncur tanpa persiapan. Tulus. Jujur. Rangkaian ini seolah berkata, ”inilah wajah kami yang sesungguhnya.”

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, malam itu dirangkum dengan apik oleh kolaborasi Anda dan Giri dalam River of Deceit. Keduanya benar-benar menuangkan semua kenangan yang dimiliki dalam nomor ini. Silih berganti bernyanyi, mereka seolah bercumbu pada bagian ”down... down... down...”

Inilah alasan kenapa saya, dan mungkin juga Anda, selalu menyempatkan diri menghadiri pertunjukan semacam ini. Demi momen jujur seperti itu. Ketika lagu disuarakan dari jiwa. Bukan untuk uang. Bukan juga ketenaran. Semua atas nama cinta.

Tersedianya kesempatan serta kejujuran yang tersisa, bagi saya, adalah bekal yang cukup bagi kita untuk terus menggelinding. Hingga akhirnya semangat ini menemukan tempat berlabuh yang baru.

Setidaknya satu tempat sudah tersedia. Acoustology. Sebuah pertemuan periodik yang dirancang untuk menjadi muara dari semua rasa cinta, pengharapan, juga keputusasaan, yang tersirat pada Pearl Jam.

Tetaplah menggelinding. Sampai jumpa disana. Semoga event itu nantinya berhasil menjadi Hamburg bagi kita semua.


Eko Prabowo

Tidak ada komentar: